Program Pengurutan IPK Mahasiswa

Di dalam dunia pemrograman, kita pasti mengenal dengan istilah array. Array dapat dianalogikan sebagai sebuah laci yang menyimpan berbagai data, dimana data yang dimasukkan kadang masih belum dalam keadaan urut. Untuk itulah, diperlukan sebuah algoritma pengurutan sebuah data. Pengurutan ini berguna untuk mempermudah dalam menampilkan sebuah data.

Berukut ini merupakan salah satu contoh pengimplementasian algoritma sorting dengan menggunakan selection sorting untuk melakukan pengurutan data mahasiswa berdasarkan IPK yang diinuputkan. Pengurutan dilakukan secara descending.

 

uses crt;

 

type data= record

nama, nim: string;

ipk : real;

end;

 

var

mhs : array [1..100] of data;

i, j, n, temp : integer;

pilih : char;

 

 

procedure input;

begin

clrscr;

write(‘Masukkan jumlah mahasiswa : ‘);

readln(n);

 

for i := 1 to n do

begin

clrscr;

writeln(‘Masukkan Data ke- ‘, i);

writeln(‘______________________’);

write (‘Nama   : ‘); readln(mhs[i].nama);

write (‘NIM   : ‘); readln(mhs[i].nim);

write (‘IPK   : ‘); readln(mhs[i].ipk);

end;

end;

 

procedure tampil;

begin

clrscr;

writeln(‘                         ** Tampilkan Data Mahasiswa **’);

writeln;

writeln;

writeln(‘|———————————————|’);

writeln(‘|   NIM |           Nama             | IPK |’);

writeln(‘|———————————————|’);

 

for i:=1 to n do

begin

gotoxy(1,6+i); writeln(‘|’);

gotoxy(10,6+i); writeln(‘|’);

gotoxy(40,6+i); writeln(‘|’);

gotoxy(47,6+i); writeln(‘|’);

gotoxy(3,6+i); writeln(mhs[i].nim);

gotoxy(14,6+i); writeln(mhs[i].nama);

gotoxy(42,6+i); writeln(mhs[i].ipk:2:2);

end;

writeln(‘|———————————————|’);

readkey;

end;

 

 

 

procedure selection;

var max: integer;

temp: data;

 

begin

for i:=1 to n-1 do

begin

max:=i;

for j:= i+1 to n do

if mhs[j].ipk> mhs[max].ipk then

max:=j;

temp:= mhs[max];

mhs[max]:= mhs[i];

mhs[i]:= temp;

end;

tampil;

end;

 

 

 

begin

input;

selection;

end.

 

aaaaa

aaaaaaaaaaa

Untitled

Program : Menghitung Bangun Ruang Dengan Menggunakan Algoritma Rekursif

Sebuah objek disebut berulang(rekursif, recursive) jika setiap objek mengandung dirinya sendiri atau didefinisikan dengan dirinya sendiri. Hubungan ini dapat ditemukan tidak hanya dalam matematika, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari. Pernah mendapakan hadiah dalam bungkusan yang berulang-ulang? Sewaktu dibuka pertama kali, ditemukan lagi pembungkus yang lebih kecil, dan sewaktu dibuka lagi ditemukan pembungkus lagi yang lebih kecil dari yang kedua, dan seterusnya. Contoh tersebut merupakan fenomena rekursif dalam kehidupan sehari-hari.

Rekursif adalah salah satu metode dalam dunia matematika dimana definisi sebuah fungsi mengandung fungsi itu sendiri. Dalam dunia pemrograman, rekursi diimplementasikan dalam sebuah fungsi yang memanggil dirinya sendiri. Contoh fungsi rekursi misalnya adalah fungsi pangkat, faktorial, dan barisan fibonacci. Suatu fungsi atau prosedur dalam bahasa Pascal dapat bersifat rekursif. Artinya fungsi atau prosedur tersebut dapat memanggil dirinya sendir.

Berikut ini merupakan script program Bangun Ruang yang menggunakan algoritma rekursif untuk melakukan perhitugan luas permukaan dan volumenya

uses crt;

function kali(a,b:integer):longint;
begin
if b>1 then
begin

kali:= kali(a,b-1)+a;

end else
kali:=a;
end;

procedure LP_balok;
var a,b,c:integer;
l:longint;
begin clrscr;

gotoxy(30,15); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,16); writeln(‘| |’);
gotoxy(30,17); write (‘| Panjang Balok : |’);
gotoxy(30,18); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,19); writeln(‘| |’);
gotoxy(30,20); write (‘| Lebar Balok : |’);
gotoxy(30,21); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,22); writeln(‘| |’);
gotoxy(30,23); write (‘| Tinggi Balok : |’);
gotoxy(30,24); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,25); writeln(‘| | | |’);
gotoxy(30,26); writeln(‘ | Luas Permukaan | ‘);
gotoxy(30,27); writeln(‘ |_________________| ‘);
gotoxy(30,28); writeln(‘ | |’);
gotoxy(30,29); writeln(‘ | |’);
gotoxy(30,30); writeln(‘ |_________________|’);

gotoxy(52,17); readln(a);
gotoxy(52,20); readln(b);
gotoxy(52,23); readln(c);
l:=(2*kali(a,b)) + (2*kali(b,c)) + (2*kali(c,a));
gotoxy(46,29); writeln(l);
readln;

end;

procedure v_balok;
var a,b,c :integer;
v :longint;
begin
clrscr;
// 1234567890123456789012
gotoxy(30,15); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,16); writeln(‘| |’);
gotoxy(30,17); write (‘| Panjang Balok : |’);
gotoxy(30,18); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,19); writeln(‘| |’);
gotoxy(30,20); write (‘| Lebar Balok : |’);
gotoxy(30,21); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,22); writeln(‘| |’);
gotoxy(30,23); write (‘| Tinggi Balok : |’);
gotoxy(30,24); writeln(‘|__________________________________|’);
gotoxy(30,25); writeln(‘| | | |’);
gotoxy(30,26); writeln(‘ | Volume | ‘);
gotoxy(30,27); writeln(‘ |_________________| ‘);
gotoxy(30,28); writeln(‘ | |’);
gotoxy(30,29); writeln(‘ | |’);
gotoxy(30,30); writeln(‘ |_________________|’);

gotoxy(52,17); readln(a);
gotoxy(52,20); readln(b);
gotoxy(52,23); readln(c);
v:=kali(a,b)*c;
gotoxy(46,29); writeln(v);
readln;

end;

var pilih : char;
begin
repeat
clrscr;
gotoxy(30,14);writeln(‘ Menu Utama’);
gotoxy(30,15);writeln(‘ ________________________’);
writeln;
gotoxy(30,17);writeln(‘ [1] Luas Permukaan Balok’);
gotoxy(30,18);writeln(‘ [2] Volume Balok’);
gotoxy(30,19);writeln(‘ [0] Keluar ‘);
writeln;
gotoxy(30,21); write(‘ Pilih : ‘); pilih:=readkey;

case pilih of
‘1’ : LP_balok;
‘2’ : v_balok;
‘0’ : exit;
end;
until pilih = ‘3’;
end.

lap2

lap21

Puisi : Negeri 1000 Spekulasi

Negeri 1000 spekulasi

Husna Rusdiani

Negeri ini penuh spekulasi

Dari mulut yang penuh basa-basi

Katanya ingin buat resolusi

Resolusi jadi, tanpa eksekusi

Apalagi bicara soal solusi

 

 

 

 

 

Negeri ini penuh tawa

Tawa dari mulut berbisa

Yang bisanya menertawai orang-orang tak berdosa

Padahal ia banyak dosa

 

 

 

 

 

 

 

Negeri ini banyak kata

Kata dari para pemuda

Yang katanya ingin memajukan bangsa

Negara maju dalam mimpinya

Mimpi yang diolah dari narkoba

Bangsa jatuh, hidupnya nelangsa

 

 

 

 

 

 

 

Negeri ini sungguh kaya katanya

Kata mereka yang punya batubara

Juga kata mereka yang penuh sandiwara

Tak peduli ada yang meregang nyawa

Yang penting “Padi sudah masuk kantong saya”

 

 

 

 

 

 

Sungguh lucu memang negeri ini

Negeri dengan seribu spekulasi

Katanya makmur sejati

Nyatanya ada yang kelaparan sampai mati

 

 

 

 

 

 

Note: Puisi ini pernah saya coba kirim ke salah satu media cetak lokal kalsel. tapi apa daya masih belum bersambut. jadilah puisi ini hanya bisa menghiasi sudut-sudut kering blog saya.

Program Pendataan Mahasiswa Sederhana

Program ini merupakan program untuk melakukan pendataan mahasiswa dengan memasukkan data mahasiswa, kemudian ditampilkan data tersebut . program ini merupakan program pengaplikasian array alam record

uses crt;

type data = record
nama : string;
nim : string;
umur: integer;
end;

var
mhs : array [1..10] of data;
i, n : integer;
pilih: string;

procedure input;

begin

i:=0;

repeat
i:=i+1;
clrscr;
writeln(‘                       Masukkan Data Mahasiswa’);
writeln(‘                       ———————–‘);
writeln;
writeln(‘Masukkan data ke- ‘, i);
write(‘Nama     : ‘);
readln(mhs[i].nama);
write(‘NIM      : ‘);
readln(mhs[i].nim);
write(‘Umur     : ‘);
readln(mhs[i].umur);

writeln;

writeln;
write(‘                        Masukkan data lagi ? [Y/N] ‘);
readln(pilih);
until (pilih=’n’) or (pilih=’N’);
end;

procedure output;

begin
clrscr;
writeln(‘                  **********************************’);
writeln;
writeln(‘                      — Data Mahasiswa Ilkom —     ‘);
writeln;
writeln(‘                  **********************************’);
writeln;
writeln;

writeln(‘ —————————————————‘);
writeln(‘ | NO | Nama            | NIM             | Umur   |’);
writeln(‘ —————————————————‘);

for n:=1 to i do
begin
gotoxy(2,10+n); writeln(‘|’);
gotoxy(7,10+n); writeln(‘|’);
gotoxy(25,10+n); writeln(‘|’);
gotoxy(43,10+n); writeln(‘|’);
gotoxy(52,10+n); writeln(‘|’);

gotoxy(4,10+n); writeln(n);
gotoxy(9,10+n);
writeln(mhs[n].nama);
gotoxy(27,10+n);
writeln(mhs[n].nim);
gotoxy(45,10+n);
writeln(mhs[n].umur);
end;
writeln(‘ —————————————————‘);
end;

begin
input;
output;
readkey;
end.

Untitled1Untitled

Sosial Media: Antara Kebebasan dan Sebuah Etika

Sosial Media: Antara Kebebasan dan Sebuah Etika

Dewasa ini, seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, maka semakin marak media sosial yang menjamur di masyarakat. Dengan semakin banyaknya media sosial yang berkembang di masyarakat, maka semakin banyak juga masyarakat yang menggunakan media sosial dan memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi dan pendapatnya. Sayangnya, saat ini penggunaan media sosial banyak disalahgunakan dan tak sejalur lagi dengan fungsi dan tujuan dari media sosial tersebut. Sebagai contoh misalnya dengan maraknya berbagai tindakan kriminal yang saat ini terjadi akibat penyalahgunaan media sosial.

Selain berbagai tindak kriminal yang makin marak terjadi melalui media sosial, penyalahgunaan media sosial juga merambah hingga ke dunia politik. Tentu masih segar dalam ingatan kita, jika beberapa bulan yang lalu kita baru saja usai melakukan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Sebelum pemilu dilakukan, tentunya saat itu para calon melakukan kampanye untuk “mengiklankan” diri mereka untuk mendulang perolehan suara masyarakat demi mewujudkan kursi kepemimpinan yang diinginkan.
Banyak cara yang dilakukan tokoh politik untuk memperkenalkan dirinya ke halayak luas. Bila dahulu kampanye hanya menggunakan baner, spanduk atau selebaran, tapi kini kampanye dapat dilakukan lewat media sosial. Penggunaaan media sosial ini menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk berkampanye. Selain pengguna media sosial yang banyak, biaya yang dikeluarkan untuk berkampanye lewat media sosial pun sangat murah sehingga biaya kampanye dapat ditekan. Tapi bukan masalah biaya yang menjadi persoalan dalam berkampanye. Yang menjadi pokok permasalahan dalam berkampanye lewat media sosial adalah etikanya. KPU telah memberikan aturan mengenai tata cara berkampanye, tetapi masih banyak saja oknum-oknum politik yang melanggar aturan ini. Sebagai contoh kampanye yang melanggar aturan yang telah ditetapkan KPU adalah menjelek-jelekkan nama tokoh lain sebagai pencitraan diri.

Selain melanggar aturan dalam berkampanye yang telah ditetapkan oleh KPU sebenarnya oknum-oknum politik ini juga telah melanggar etika berinternet. Apakah ini kesalahan KPU atau etika berinternet yang tidak jelas? Persoalan ini harus segera dituntaskan. Tidak ada larangan untuk berkampanye lewat media sosial. Namun yang perlu diingat adalah etika berkampanye itu sendiri. Jika kampanye di media sosial dijadikan wahana untuk menjelek-jelekan lawan politik sepertinya harus ada aturan resmi dari KPU untuk aturan berkampanye lewat media sosial. Bagaimana menurut Anda tentang statment yang sering kita terima pada broadcast di BBM seperti “ pilih no. 2 untuk perbaikan Indonesia. Memilih no lain hanya menyia-nyaiakan suara saja”. Kita sebagai masyarakat tentunya harus jeli dan dapat membedakan statement ini. Dengan adanya statement ini tentunya kita dapat memberikan penilaian terhadap tokoh politik yang bersangkutan. Pelaku bisa saja berkelik jika kasus ini diajukan ke ranah hukum mulai dari aturan KPU yang tidak jelas dan Etika berinternet yang masih abu-abu.

Lantas apakah sikap para politikus-politikus tersebut dapat dianggap benar? Jika ditilik dari segi kebebasan dalam mengeluarkan aspirasi dan pendapat, tentu kita dapat mengatakan bahwa hal-hal tersebut dapat dikatakan wajar. Jika mengacu dengan hak asasi manusia, kita sebagai manusia berhak untuk mengeluarkan pendapat dan menyalurkan aspirasi kita. Sebagai manusia kita bebas mengemukakan pendapat di manapun dan bebas menyalurkan aspirasi kita dengan berbagai cara. Namun, apabila kita menilik dari etika berinternet yang secara tidak tertulis telah disepakati untuk dipatuhi bersama, maka dapat kita simpulkan bahwa sikap politukus-politikus tersebut tidaklah etis. Politikus-politikus tersebut telah melanggar etika berinternet yang harusnya diterapkan dalam berinternet maupun dalam bersosial media. Dalam etika berinternet atau biasa disebut cyber ethics dengan jelas disebutkan bahwa apabila kita memiliki akun di sebuah forum, ketika kita melakukan pelanggaran baik menerbitkan tulisan yang berbau SARA, pornografi, ataupun menjelek-jelekan orang atau kelompok lain maka akun kita dapat di nonaktifkan atau di banned dari forum tersebut.

Jika ditilik dari hal tersebut, maka jelas bahwa kampanye yang dilakukan oleh para oknum-oknum tersebut salah, karena menyalahi etika berinternet. Pada dasarnya kita boleh mengaspirasikan pendapat kita, namun tentu dalam menyampaikan pendapat kita harus menjunjung etika yang ada, terlebih lagi dalam berkomunikasi lewat media sosial. Kita harus memikirkan terlebih dahulu dampak yang akan terjadi kedepannya sebelum kita menyampaikan statment-statment kita di dunia maya. Jika dari statment yang kita sampaikan ini mengandung unsur SARA, atau penghinaan, serta statment yang bersifat propokatif yang dapat merugikan orang lain, maka sang pemilik statment dapat dipidana sesuai statment yang diutarakannya.

Selain itu, perbuatan para oknum politiik tersebut juga menyalahi aturan berkampanye yang telah diterapkan oleh KPU. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2014 pasal 12 yang berbunyi:
“Materi Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 adalah:
a. sopan, yaitu menggunakan bahasa atau kalimat yang santun dan pantas ditampilkan kepada umum;
b. tertib, yaitu tidak mengganggu kepentingan umum;
c. mendidik, yaitu memberikan informasi yang bermanfaat dan mencerahkan Pemilih;
d. bijak dan beradab, yaitu tidak menyerang pribadi, kelompok, golongan atau Pasangan Calon lain; dan
e. tidak bersifat provokatif.”
Jelas sekali pada pasal tersebut tertulis bahwa dalam melakukan kampanye, calon presiden dan wakil presiden dilarang untuk melakukan hal-hal yang bersifat provokatif. Maka dari itu, apa yang terjadi pada masa-masa kampanye beberapa waktu silam, bukanlah suatu hal yang dapat dibenarkan jika pada masa kampanye oknum-oknum politik ini melanggar hal-hal yang telah jelas-jelas tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2014 pasal 11 tersebut.

Namun, apakah setelah muncul beberapa contoh pelanggaran yang dilakukan dalam bermedia sosial tersebut membuat kita harus membatasi penggunaan media sosial sebagai wadah aspirasi kita? Tentu saja hal tersebut tidak perlu dilakukan. Selain beberapa contoh di atas, masih banyak orang-orang yang menggunakan media sosial sebagai salah satu ruang yang bermanfaat. Masih banyak di antara mereka yang menjunjung tinggi etika-etika dalam berinternet. Orang-orang tersebut tentulah merupakan orang-orang yang dapat memanfaatkan media sosial menjadi sebuah wadah efektif yang dapat menampung aspirasi dan menyalurkan hak kita untuk mengeuarkan pendapat.

Lalu timbul sebuah pertanyaan, “perlukah pembatasan dalam bersosial media?”. Pada dasarnya pembatasan dalam mengeluarkan pendapat tidaklah dibenarkan, karena kembali pada hak-hak dasar kita sebagai manusia yang memiliki hak untuk menyuarakan pendapat kita. Lantas, apabila tidak adanya pembatasan dalam mengeluarkan pendapat maupun dalam bersosial media, tindakan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi berbagai pelanggaran terhadap etika berinternet yang marak terjadi di sosial media?

Jawabannya sederhana, kesadaran. Kita sebagai manusia yang diberi hak untuk menyuarakan pendapat kita, tentu haruslah sadar jika dibalik sebuah hak, ada sebuah tanggung jawab yang harus dipikul. Salah satu tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai manusia adalah saking menghormati manusia lain. Untuk itu perlu kesadaran dari masing-masing orang akan pentingnya sebuah tanggung jawab dalam menghormati sesama. Untuk bersikap saling menghormati, tidak perlu tindakan yang berlebihan. Cukup dengan menjaga suara kita agar tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak melakukan provokasi dan banyak hal lainnya.

Hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita tersebut dapat kita terapkan dalam kehidupan bersosial media. Dalam bersosial media, kita haruslah bisa menjaga ‘suara’ kita. kita tidak boleh menyuarakan sesuatu yang mengandung unsur SARA ataupun hal-hal lain yang dapat menimbulkan perselisihan satu sama lain, baik itu berupa penghinaan ataupun hal-hal yang bersifat memprovokasi pihak lain. Disinilah mengapa diperlukan sebuah aturan dalam berselancar di dunia internet, yang sering disebut cyber ethics atau etika berinternet.

Etika berinternet sangat diperlukan untuk membatasi manusia dalam mengeluarkan suaranya di dunia maya. Etika berinternet sangatlah penting, agar dalam menjelajah dunia maya, kita tidak melakukan sesuatu yang melanggar tanggung jawab kita sebagai manusia untuk saling menghormati satu sama lain.

Jadi pada dasarnya, penggunaan sosial media tidaklah perlu dibatasi. Yang menjadi masalah disini bukaknlah penggunaan sosial media yang semakin marak, melainkan sikap kita sebagai manusia yang masih kurang beretika. Yang menjadi titik masalah disini bukanlah sosial media yang terlalu membebaskan kita untuk menyuarakan pendapat, melainkan masih rendahnya kesadaran kita sebagai manusia untuk melaksanakan tanggung jawab dalam menghormati satu sama lain. Sehingga, dalam hal ini, yang perlu dibatasi bukanlah penggunaan sosial medianya, melainkan sikap kita dalam memanfaatkan media sosial. Dalam menggunkan sosial media, kita haruslah memperhatikan dan menerapkan aturan-aturan maupun etika-etika dalam berinternet. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada perpecahan di antara setiap orang. Penerapan etika-etika tersebut sangatlah penting untuk menciptakan kenyamanan dan kedamaian dalam bersosial media. Jadi yang menjadi akar masalah dari berbagai tindak pelanggaran dalam bersosial media, bukanlah sosial medianya, melainkan silkap kita yang tak kunjung sadar akan pentingnya sebuah etika.

Cerpen: Angel, Dandelion, and Then Miracle

Image

 

 

ANGEL, DANDELION, AND THEN MIRACLE

BY: HUSNA RUSDIANI

 

Malaikat. Apa kau percaya pada makhluk yang sering hanya dianggap dongeng itu? kalau aku, aku percaya. Karena aku memiliki satu orang malaikat. Dia malaikat yang sangat cantik, sama seperti yang digambarkan para pendongeng. Malaikat tercantik yang pernah kumiliki, yang selalu menyembunyikan kedua sayap putihnya di balik punggung yang berselimut jubah putih. Dia malaikatku. Juga malaikat bagi anak-anak lain yang memiliki kesamaan denganku. Dia malaikat yang bertugas membuat kami yang tinggal di sini merasa jauh lebih baik.

 

***

 

Aku mengenal malaikatku enam bulan yang lalu, saat itu aku berusia enam belas tahun. Di mataku, dulu ia terlihat begitu menyeramkan. Ia selalu mengenakan jubah putih kesayangannya saat menemuiku. Terlihat sangat dingin. Apalagi saat ia menempelkan benda yang selalu menggantung di lehernya ke kulitku. Rasanya dingin dan menusuk. Saat itu, aku begitu membenci malaikatku.

Sampai hari itu, saat aku terbangun dan mendapati diriku tetap berada di ruang yang sama seperti kemarin. Ruangan berwarna putih yang baru dua hari kutempati, dan mungkin aku akan lama tinggal di sini –mungkin juga tidak-. Yang jelas aku membenci ruangan ini, sama seperti aku membenci malaikatku. Aku benci saat menghirup udara di sini. Udara yang dipenuhi bebauan khas yang akan memenuhi paru-paru, lalu secara perlahan akan mencekikku dari dalam. Aku benci saat ingat alasan mengapa aku bisa berada si ruangan ini. Dan aku lebih membenci malaikatku saat ia datang dan tersenyum padaku. Senyum yang seakan berkata jika semuanya baik-baik saja. Padahal semuanya tidak baik-baik saja. Hari itu, aku masih membenci malaikatku.

 

***

 

Dulu, aku begitu menyukai hujan. Tapi tidak kali ini. Dulu aku akan duduk di teras rumah sembari menikmati rintik hujan yang menciprat ke wajahku. Tapi kali ini, aku hanya diam di balik jendela ruang putihku, mengamati tiap tetes air langit itu jatuh di permukaan kacanya. Hari ini aku membenci hujan, sama seperti rasa benciku pada dia yang saat ini tengah berdiri di samping ranjangku.

“Apa kau menyukai hujan?” Malaikatku mulai bicara, suaranya terdengar lembut seperti biasa. Tapi itu tak cukup membuatku untuk sekedar menoleh menatapnya. Aku bersikukuh untuk terus menatap guyuran hujan di luar yang semakin deras.

“Kau pasti menyukai hujan.” Merasa tidak kuhiraukan, malaikatku mendudukkan dirinya di sampingku. Ikut menekuk lututnya, lalu memandang ke luar jendela sama seperti yang sedang kulakukan.

“Bukankah hujan begitu menenangkan?” malaikatku tak kunjung menyerah untuk membuatku bicara padanya. “Hujan membuat perasaan kita lebih damai.”

Kali ini aku menoleh, memandang malaikatku yang tersenyum menatap hujan.

“Hujan membuat kita lebih bisa menikmati hidup.” Ia menatapku lekat, masih dengan senyum hangatnya. “Karena sejuknya hujan, hidup ini terasa lebih mudah.”

“Tapi hujan tidak bisa membuat hidup seseorang menjadi lebih lama.” Kali ini giliranku yang bicara. Kata-kata yang baru saja kuucapkan membuat malaikatku bungkam. Aku menoleh, mencoba menghindari tatapan matanya yang meredup. Dari ekor mataku, aku bisa melihat senyumnya memudar.

Sunyi. Hanya suara rintik hujan di luar yang mengalun mengisi ruang putih ini. Aku bahkan bisa mendengar deru nafas yang kuhembuskan. Nafas yang terasa hangat, berbeda dengan udara dingin yang terasa menusuk tulang di luar sana. Nafas hangat yang mungkin hanya dapat kurasakan hingga akhir minggu ini.

“Luna.” Suara lembut malaikatku kembali bergema, memecahkan atmosfer keheningan yang melapisi ruang putih ini dengan memanggil lembut namaku. “Apa kau percaya dengan Dia yang menciptakan hujan?”

Aku menoleh, menatap malaikatku yang menerawang ke luar jendela dengan kening bertaut.

“Jika kau percaya dengan-Nya, tentu kau juga mempercayai keajaiban, bukan?” malaikatku tersenyum, sangat cantik. “Keajaiban akan datang pada orang-orang yang mempercayainya. Tapi tidak dengan seseorang yang putus asa.”

Aku memalingkan wajah ketika malaikatku menyelesaikan kalimatnya. Mengepalkan tanganku erat dibalik selimut yang masih setia menjaga kehangatan tubuhku. Ada rasa marah, benci, kecewa, dan sedih yang tiba-tiba menyeruak, lalu menyatu di antara degup jantungku yang berpacu cepat. Aku terus diam, tidak menghiraukan malaikatku yang mulai beranjak meninggalkan ruangan ini. Malaikatku pergi. Meninggalkanku sendirian dengan perasaan acak yang menyatu di bagian tengah jantungku. Membuat organ vital itu terus berpacu cepat. Memacu perasaan-perasaan acak itu mengalir bersama darah di dalam arteriku. Terus mengalir, menyebarkannya ke seluruh tubuhku. Kaki, pinggang, badan, tangan. Dan saat aliran itu mencapai kepalaku, pandanganku mulai mengabur. Segalanya terasa berputar, tepat saat tubuhku roboh ke kasur.

“Jika keajaiban seperti yang diucapkannya, maka keajaiban pun enggan menghampiriku. Karena aku sudah lelah menunggu keajaiban yang tak kunjung datang saat aku begitu mempercayainya. Dan sekarang, kepercayaan itu semakin memudar, sama seperti diriku. Akan hilang pada akhirnya.”

Setelah itu, semuanya gelap.

 

***

 

Hari ini aku terlihat begitu menyedihkan. Selama tiga per empat hari ini kuhabiskan dengan memandang langit-langit di ruang putihku, sisanya kulewati dengan ketidaksadaran. Samar, aku mendengar percakapan antara dua orang dari balik pintu.

“Tindakan itu harus segera dilakukan.”

Itu suara malaikatku. Nadanya lembut dengan aksen tegas yang tidak bisa dibantah.

“Tapi, bukankah itu terlalu berisiko?” kali ini terdengar suara lain, suara ayahku. Suara baritone yang terdengar bergetar, begitu pilu.

“Tapi itu jauh lebih baik dibandingkan dengan hanya terus menunggu tanpa melakukan apa pun.”

Sunyi. Percakapan itu diakhiri dengan ucapan malaikatku yang suara derap langkahnya bergema hingga ke telingaku. Malaikatku memang pandai bicara. Mungkin sama pandainya dengan angin yang saat ini berhembus melalui jendela, menyibak gorden hijau yang berkibar ke arahku. Aku tersenyum tipis, sambil memejamkan mata. Membayangkan jika ini adalah angin terakhir yang menyibak rambutku, yang mengalir dari jendela ruang putih yang tak lagi basah. Hujan sudah berhenti sejak kemarin, tapi hujan dari pelupuk mataku, baru saja menetes.

 

***

 

Kali ini aku duduk di taman belakang tempat aku tinggal beberapa minggu terakhir. Aku memandang sekeliling, memperhatikan wajah orang-orang yang berseragam sama denganku. Ada seorang gadis kecil yang dengan lincah bermain dengan boneka dan bunga di tangannya. Ia tersenyum riang, menikmati setiap langkah yang ia lakuakn, dengan sang ibu yang menatapnya pilu.

Mataku kini beralih menatap seorang paman yang tergolek lemah di kursi roda. Pandangannya yang kosong menerawang menembus semak-semak berduri di sudut taman. Sementara di sisi kanan taman, di bawah pohon mangga yang mulai berbunga, seorang gadis yang kira-kira sebaya denganku, sedang meringkuk lututnya. Gadis itu menunduk, namun aku masih bisa melihat butiran bening yang membasahi wajahnya.

Aku tersenyum pahit membayangkan apa yang sedang diderita gadis itu. Berapa lama ia dirawat di sini? bagaimana perasaannnya saat ini? Atau … berapa lama lagi umurnya?

Kini pandanganku kembali beralih ke arah kumpulan dandelion putih yang berjejer di sepanjang pagar taman ini. Lagi-lagi aku menarik kedua sudut bibirku, tersenyum pahit. Dulu aku begitu membenci dandelion. Di antara seluruh bunga yang kutahu, dandelionlah yang paling tidak kusukai. Tapi sekarang, aku seakan berubah menjadi setangkai dandelion yang rapuh. Setangkai dandelion yang bunganya akan berterbangan seperti helaian bulu-bulu halus saat angin bertiup. Dandelion yang rapuh, yang mengetahui hidupnya akan segera berakhir ketika angin datang. Sangat mirip denganku, dandelion muda yang akan segera menemui angin kencangnya.

“Melamun?” suara lembut yang sudah familiar di telingaku membuat aku mengalihkan pandangan dari dandelion yang mulai berterbangan, membentuk formasi bulu-bulu putih yang melayang membelah udara. Formasi itu mengikuti semilir angin yang akan membawanya terbang. Entah menghilang ke langit, atau jatuh ke tanah saat angin berhenti berhembus. Jatuh terhempas, kemudian terinjak oleh tapak-tapak kaki tak bersahabat yang sama sekali tak mengetahui keberadaannya.

Aku menoleh, dan mendapati malaikatku yang sudah duduk di sampingku, masih dengan senyum hangatnya.

“Kenapa melamun di sini?” tanyanya lembut sambil berusaha mengusap kepalaku, namun segera kutepis.

“Aku hanya ingin melihat-lihat,” jawabku. Kali ini aku memberanikan diri menatap kedua mata malaikatku. Aku baru menyadari jika sumber pancaran kelembutan itu dilapisi lensa coklat yang begitu bening dengan garis-garis hitam yang terus memancarkan kehangatan. “Mungkin untuk yang terakhir kali.”

Kini pancaran kehangatan itu mulai meredup, seiring dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut keringku.

“Kau akan dioperasi lusa.” ucapnya

“Aku tahu.”

“Masih ada kemungkinan untuk tetap hidup.”

“Tapi kemungkinan terbesar adalah mati di atas meja operasi.”

Kini sinar kehangatan dan kelembutaan itu lenyap sudah. Tergantikan dengan gurat kekecewaan dan prihatin yang mendalam. Semua itu tercetak jelas di kerutan wajahnya yang berusaha ia sembunyikan dengan senyum.

“Bukankah kau percaya pada Tuhan? Kau juga percaya dengan keajaiban, bukan?” tanyanya.

“Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak pada keajaiban.”

Aku bisa melihat malaikatku menyipitan matanya.

“Kenapa?” Ia bertanya sekali lagi.

“Karena aku sudah tidak mempercayai keajaiban lagi. Aku sudah lelah menunggu mereka yang tak kunjung datang.” Aku menghela nafas, melemparkan pandanganku ke arah dandelion yang masih berterbangan. “Bagiku, keajaiban hanya seonggok harapan palsu yang dibuat untuk membuatku semakin terpuruk. Ketika aku merasa tubuhku baik-baik saja, aku merasa jika keajaiban itu ada, sedang menyelimuti pundakku. Tapi ketika aku terbangun keesokan harinya, aku mendapati diriku terbaring di ranjang rumah sakit dengan tulisan ‘tumor stadium 4’ yang tertera di papan pasien. Tumor yang berdesakkan dengan isi kepalaku bahkan terus mengganas, meski aku tetap percaya pada keajaiban. Dan sejak saat itu, aku bertekad untuk tidak memepercayai sesuatu yang bernama keajaiban. Aku terus meneriaki diriku, mengatakan jika keajaiban hanya akan membuatku terjerembab dalam jurang tanpa dasar. Menahan tubuhku sebentar, membiarkannya melayang, lalu menjatuhkannya lebih keras. Terus seperti itu tanpa akhir. Hingga luka kecil yang kuderita semakin menganga lebar.”

Sunyi. Tidak ada satu pun yang bicara setelah aku menyelesaikan kalimatku. Aku masih memperhatikan dandelion putih yang perlahan mulai menghilang ke langit,dan sebagian lainnya terjatuh ke tanah. Sementara malaikatku masih terus menatapku, memberikan seluruh rasa simpati yang ia miliki lewat sinar matanya.

“Jika kau memang tidak percaya pada keajaiban, kau tetap harus bertahan, dengan atau tanpa keajaiban.”

“Aku tidak punya alasan untuk bertahan.” Jawabku sarkatis.

“Kau punya.” Sahut malaikatku. Aku menoleh, menatap ke dalam bola mata coklatnya. “Orang tuamu, saudaramu, teman-temanmu, dan semua orang yang menyayangimu. Mereka adalah alasanmu untuk tetap bertahan..”

“Aku tidak mau bertahan jika alasannya adalah mereka.” Aku tersenyum miris, sementara malaikatku menghela nafas. “Jika aku bertahan, bukankah aku hanya akan membuat mereka semakin menderita? Jika aku tetap hidup, bukankah aku hanya akan menambah beban mereka? Aku hanya akan membuat mereka lebih sering menangis karena memiliki seorang putri yang menderita tumor ganas di kepalanya. Dan aku benci melihat mereka menangis.”

Tanpa kusadari, malaikatku mengulurkan tangannya ke sudut mataku. Mengusap lembut bening kristal yang mengumpul di sana hingga pandanganku mulai mengabur.

“Jika kau tidak ingin bertahan demi mereka, maka bertahanlah karena aku.” Kutolehkan kepalaku menatap malaikatku yang masih setia mengusap lembut pipiku. “Bertahanlah demi aku yang akan melakukan operasimu. Bertahanlah demi aku yang akan tersenyum lega jika operasimu berhasil. Tetaplah hidup demi diriku yang tidak akan menangis jika operasimu berhasil. Kau harus tetap berjuang agar operasimu berhasil, karena setelah itu aku akan pergi dengan senyum bahagia. Bukankah kau tidak menyukaiku?”

“Aku menatap lekat malaikatku yang tersenyum lembut padaku. senyuman tulus tanpa belas kasihan yang terasa begitu hangat. Perlahan kupejamkan mataku saat tangan lembutnya mengelus kepala lalu turun ke pipiku. Sentuhannya sangat halus, sehalus dandelion yang sudah menemukan takdirnya masing-masing.

Sejak hari itu, aku begitu menyayangi malaikatku.

 

***

 

Ruangan ini terasa begitu menyilaukan ketika empat buah lampu telah dinyalakan di atas tubuhku. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian pandanganku mulai mengabur. Kemudian semuanya kembali menjadi gelap.

 

***

“Operasimu berhasil.”

Aku masih bisa melihat senyum hangat malaikatku, kini ia sedang duduk di sampingku. Menemaniku yang sedang menikmati angin sore di taman rumah sakit.

“Maaf.”

Hey. Kenapa kau menangis malaikatku? Aku tersentak saat melihat ada butiran air di sudut mata indahnya. Bukankah kau telah berjanji akan tersenyum jika operasiku berhasil?

Aku memberengut kesal. Memalingkan tubuh membelakangi malaikatku yang kini memelukku dari belakang. Ia mengusap dan mengecup lembut kepalaku.

“Seandainya aku lebih berhati-hati, mungkin hasilnya tidak akan seperti ini.”

Hey malaikatku! Apa sebenarnya yang kau bicarakaan? Bukankah operasiku berhasil?

“Tapi tidak apa-apa.” Malaikatku memalingkan tubuhku menghadapnya. “Kau pasti akan kembali seperti dulu. Kau hanya perlu melewati beberapa terapi dan perawatan. Setelah itu semuanya akan kembali normal.” Bibir malaikatku bergerak cepat, namun masih terkesan lembut. Aku yakin ia sedang bicara, aku bisa mendengarnya, meski tidak memahami apa yang sedang ia bicarakan.

“Tidak peduli berapa banyak syaraf yang sudah putus.” Malaikatku kembali menggerakkan bibirnya, sementara aku mencoba menghapus air mata yang semakin deras mengalir di pipnya. Meski tidak selembut malaikatku, tapi aku berusaha melakukan sebaik dirinya. “Meskipun kerusakan otakmu parah, kau pasti akan kembali seperti semula.”

Aku tersenyum saat malaikatku kembali menunjukkan senyum hangatnya. Dari balik jubah putihnya, ia mengeluarkan sesuatu yang ia sodorkan ke arahku. Setangkai dandelion putih.

Aku memperhatikan dandelion itu lekat. Perlahan mulutku bergerak, meniup pelan bunga dandelion yang kini berterbangan mengikuti angin.

Aku tertawa keras, takjub dengan apa yang kuperbuat. Dengan cepat aku berdiri, bertepuk tangan ria, sambil mengikuti bulu-bulu putih dandelion yang berterbangan. Aku meloncat-loncat kegirangan sambil berusaha meraih satu bulu dandelion. Tidak peduli jika dandelion-dandelion itu telah terbang jauh atau ada yang jatuh, dan terinjak olehku. Yang kuinginkan hanyalah mengambil satu dandelion. Karena kini aku menyukai dandelion. Dandelion yang telah menentukan takdirnya masing-masing. Sama sepertiku, yang telah mendapatkan takdir dan keajaiban secara bersamaan.

 

 

THE END