ANGEL, DANDELION, AND THEN MIRACLE
BY: HUSNA RUSDIANI
Malaikat. Apa kau percaya pada makhluk yang sering hanya dianggap dongeng itu? kalau aku, aku percaya. Karena aku memiliki satu orang malaikat. Dia malaikat yang sangat cantik, sama seperti yang digambarkan para pendongeng. Malaikat tercantik yang pernah kumiliki, yang selalu menyembunyikan kedua sayap putihnya di balik punggung yang berselimut jubah putih. Dia malaikatku. Juga malaikat bagi anak-anak lain yang memiliki kesamaan denganku. Dia malaikat yang bertugas membuat kami yang tinggal di sini merasa jauh lebih baik.
***
Aku mengenal malaikatku enam bulan yang lalu, saat itu aku berusia enam belas tahun. Di mataku, dulu ia terlihat begitu menyeramkan. Ia selalu mengenakan jubah putih kesayangannya saat menemuiku. Terlihat sangat dingin. Apalagi saat ia menempelkan benda yang selalu menggantung di lehernya ke kulitku. Rasanya dingin dan menusuk. Saat itu, aku begitu membenci malaikatku.
Sampai hari itu, saat aku terbangun dan mendapati diriku tetap berada di ruang yang sama seperti kemarin. Ruangan berwarna putih yang baru dua hari kutempati, dan mungkin aku akan lama tinggal di sini –mungkin juga tidak-. Yang jelas aku membenci ruangan ini, sama seperti aku membenci malaikatku. Aku benci saat menghirup udara di sini. Udara yang dipenuhi bebauan khas yang akan memenuhi paru-paru, lalu secara perlahan akan mencekikku dari dalam. Aku benci saat ingat alasan mengapa aku bisa berada si ruangan ini. Dan aku lebih membenci malaikatku saat ia datang dan tersenyum padaku. Senyum yang seakan berkata jika semuanya baik-baik saja. Padahal semuanya tidak baik-baik saja. Hari itu, aku masih membenci malaikatku.
***
Dulu, aku begitu menyukai hujan. Tapi tidak kali ini. Dulu aku akan duduk di teras rumah sembari menikmati rintik hujan yang menciprat ke wajahku. Tapi kali ini, aku hanya diam di balik jendela ruang putihku, mengamati tiap tetes air langit itu jatuh di permukaan kacanya. Hari ini aku membenci hujan, sama seperti rasa benciku pada dia yang saat ini tengah berdiri di samping ranjangku.
“Apa kau menyukai hujan?” Malaikatku mulai bicara, suaranya terdengar lembut seperti biasa. Tapi itu tak cukup membuatku untuk sekedar menoleh menatapnya. Aku bersikukuh untuk terus menatap guyuran hujan di luar yang semakin deras.
“Kau pasti menyukai hujan.” Merasa tidak kuhiraukan, malaikatku mendudukkan dirinya di sampingku. Ikut menekuk lututnya, lalu memandang ke luar jendela sama seperti yang sedang kulakukan.
“Bukankah hujan begitu menenangkan?” malaikatku tak kunjung menyerah untuk membuatku bicara padanya. “Hujan membuat perasaan kita lebih damai.”
Kali ini aku menoleh, memandang malaikatku yang tersenyum menatap hujan.
“Hujan membuat kita lebih bisa menikmati hidup.” Ia menatapku lekat, masih dengan senyum hangatnya. “Karena sejuknya hujan, hidup ini terasa lebih mudah.”
“Tapi hujan tidak bisa membuat hidup seseorang menjadi lebih lama.” Kali ini giliranku yang bicara. Kata-kata yang baru saja kuucapkan membuat malaikatku bungkam. Aku menoleh, mencoba menghindari tatapan matanya yang meredup. Dari ekor mataku, aku bisa melihat senyumnya memudar.
Sunyi. Hanya suara rintik hujan di luar yang mengalun mengisi ruang putih ini. Aku bahkan bisa mendengar deru nafas yang kuhembuskan. Nafas yang terasa hangat, berbeda dengan udara dingin yang terasa menusuk tulang di luar sana. Nafas hangat yang mungkin hanya dapat kurasakan hingga akhir minggu ini.
“Luna.” Suara lembut malaikatku kembali bergema, memecahkan atmosfer keheningan yang melapisi ruang putih ini dengan memanggil lembut namaku. “Apa kau percaya dengan Dia yang menciptakan hujan?”
Aku menoleh, menatap malaikatku yang menerawang ke luar jendela dengan kening bertaut.
“Jika kau percaya dengan-Nya, tentu kau juga mempercayai keajaiban, bukan?” malaikatku tersenyum, sangat cantik. “Keajaiban akan datang pada orang-orang yang mempercayainya. Tapi tidak dengan seseorang yang putus asa.”
Aku memalingkan wajah ketika malaikatku menyelesaikan kalimatnya. Mengepalkan tanganku erat dibalik selimut yang masih setia menjaga kehangatan tubuhku. Ada rasa marah, benci, kecewa, dan sedih yang tiba-tiba menyeruak, lalu menyatu di antara degup jantungku yang berpacu cepat. Aku terus diam, tidak menghiraukan malaikatku yang mulai beranjak meninggalkan ruangan ini. Malaikatku pergi. Meninggalkanku sendirian dengan perasaan acak yang menyatu di bagian tengah jantungku. Membuat organ vital itu terus berpacu cepat. Memacu perasaan-perasaan acak itu mengalir bersama darah di dalam arteriku. Terus mengalir, menyebarkannya ke seluruh tubuhku. Kaki, pinggang, badan, tangan. Dan saat aliran itu mencapai kepalaku, pandanganku mulai mengabur. Segalanya terasa berputar, tepat saat tubuhku roboh ke kasur.
“Jika keajaiban seperti yang diucapkannya, maka keajaiban pun enggan menghampiriku. Karena aku sudah lelah menunggu keajaiban yang tak kunjung datang saat aku begitu mempercayainya. Dan sekarang, kepercayaan itu semakin memudar, sama seperti diriku. Akan hilang pada akhirnya.”
Setelah itu, semuanya gelap.
***
Hari ini aku terlihat begitu menyedihkan. Selama tiga per empat hari ini kuhabiskan dengan memandang langit-langit di ruang putihku, sisanya kulewati dengan ketidaksadaran. Samar, aku mendengar percakapan antara dua orang dari balik pintu.
“Tindakan itu harus segera dilakukan.”
Itu suara malaikatku. Nadanya lembut dengan aksen tegas yang tidak bisa dibantah.
“Tapi, bukankah itu terlalu berisiko?” kali ini terdengar suara lain, suara ayahku. Suara baritone yang terdengar bergetar, begitu pilu.
“Tapi itu jauh lebih baik dibandingkan dengan hanya terus menunggu tanpa melakukan apa pun.”
Sunyi. Percakapan itu diakhiri dengan ucapan malaikatku yang suara derap langkahnya bergema hingga ke telingaku. Malaikatku memang pandai bicara. Mungkin sama pandainya dengan angin yang saat ini berhembus melalui jendela, menyibak gorden hijau yang berkibar ke arahku. Aku tersenyum tipis, sambil memejamkan mata. Membayangkan jika ini adalah angin terakhir yang menyibak rambutku, yang mengalir dari jendela ruang putih yang tak lagi basah. Hujan sudah berhenti sejak kemarin, tapi hujan dari pelupuk mataku, baru saja menetes.
***
Kali ini aku duduk di taman belakang tempat aku tinggal beberapa minggu terakhir. Aku memandang sekeliling, memperhatikan wajah orang-orang yang berseragam sama denganku. Ada seorang gadis kecil yang dengan lincah bermain dengan boneka dan bunga di tangannya. Ia tersenyum riang, menikmati setiap langkah yang ia lakuakn, dengan sang ibu yang menatapnya pilu.
Mataku kini beralih menatap seorang paman yang tergolek lemah di kursi roda. Pandangannya yang kosong menerawang menembus semak-semak berduri di sudut taman. Sementara di sisi kanan taman, di bawah pohon mangga yang mulai berbunga, seorang gadis yang kira-kira sebaya denganku, sedang meringkuk lututnya. Gadis itu menunduk, namun aku masih bisa melihat butiran bening yang membasahi wajahnya.
Aku tersenyum pahit membayangkan apa yang sedang diderita gadis itu. Berapa lama ia dirawat di sini? bagaimana perasaannnya saat ini? Atau … berapa lama lagi umurnya?
Kini pandanganku kembali beralih ke arah kumpulan dandelion putih yang berjejer di sepanjang pagar taman ini. Lagi-lagi aku menarik kedua sudut bibirku, tersenyum pahit. Dulu aku begitu membenci dandelion. Di antara seluruh bunga yang kutahu, dandelionlah yang paling tidak kusukai. Tapi sekarang, aku seakan berubah menjadi setangkai dandelion yang rapuh. Setangkai dandelion yang bunganya akan berterbangan seperti helaian bulu-bulu halus saat angin bertiup. Dandelion yang rapuh, yang mengetahui hidupnya akan segera berakhir ketika angin datang. Sangat mirip denganku, dandelion muda yang akan segera menemui angin kencangnya.
“Melamun?” suara lembut yang sudah familiar di telingaku membuat aku mengalihkan pandangan dari dandelion yang mulai berterbangan, membentuk formasi bulu-bulu putih yang melayang membelah udara. Formasi itu mengikuti semilir angin yang akan membawanya terbang. Entah menghilang ke langit, atau jatuh ke tanah saat angin berhenti berhembus. Jatuh terhempas, kemudian terinjak oleh tapak-tapak kaki tak bersahabat yang sama sekali tak mengetahui keberadaannya.
Aku menoleh, dan mendapati malaikatku yang sudah duduk di sampingku, masih dengan senyum hangatnya.
“Kenapa melamun di sini?” tanyanya lembut sambil berusaha mengusap kepalaku, namun segera kutepis.
“Aku hanya ingin melihat-lihat,” jawabku. Kali ini aku memberanikan diri menatap kedua mata malaikatku. Aku baru menyadari jika sumber pancaran kelembutan itu dilapisi lensa coklat yang begitu bening dengan garis-garis hitam yang terus memancarkan kehangatan. “Mungkin untuk yang terakhir kali.”
Kini pancaran kehangatan itu mulai meredup, seiring dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut keringku.
“Kau akan dioperasi lusa.” ucapnya
“Aku tahu.”
“Masih ada kemungkinan untuk tetap hidup.”
“Tapi kemungkinan terbesar adalah mati di atas meja operasi.”
Kini sinar kehangatan dan kelembutaan itu lenyap sudah. Tergantikan dengan gurat kekecewaan dan prihatin yang mendalam. Semua itu tercetak jelas di kerutan wajahnya yang berusaha ia sembunyikan dengan senyum.
“Bukankah kau percaya pada Tuhan? Kau juga percaya dengan keajaiban, bukan?” tanyanya.
“Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak pada keajaiban.”
Aku bisa melihat malaikatku menyipitan matanya.
“Kenapa?” Ia bertanya sekali lagi.
“Karena aku sudah tidak mempercayai keajaiban lagi. Aku sudah lelah menunggu mereka yang tak kunjung datang.” Aku menghela nafas, melemparkan pandanganku ke arah dandelion yang masih berterbangan. “Bagiku, keajaiban hanya seonggok harapan palsu yang dibuat untuk membuatku semakin terpuruk. Ketika aku merasa tubuhku baik-baik saja, aku merasa jika keajaiban itu ada, sedang menyelimuti pundakku. Tapi ketika aku terbangun keesokan harinya, aku mendapati diriku terbaring di ranjang rumah sakit dengan tulisan ‘tumor stadium 4’ yang tertera di papan pasien. Tumor yang berdesakkan dengan isi kepalaku bahkan terus mengganas, meski aku tetap percaya pada keajaiban. Dan sejak saat itu, aku bertekad untuk tidak memepercayai sesuatu yang bernama keajaiban. Aku terus meneriaki diriku, mengatakan jika keajaiban hanya akan membuatku terjerembab dalam jurang tanpa dasar. Menahan tubuhku sebentar, membiarkannya melayang, lalu menjatuhkannya lebih keras. Terus seperti itu tanpa akhir. Hingga luka kecil yang kuderita semakin menganga lebar.”
Sunyi. Tidak ada satu pun yang bicara setelah aku menyelesaikan kalimatku. Aku masih memperhatikan dandelion putih yang perlahan mulai menghilang ke langit,dan sebagian lainnya terjatuh ke tanah. Sementara malaikatku masih terus menatapku, memberikan seluruh rasa simpati yang ia miliki lewat sinar matanya.
“Jika kau memang tidak percaya pada keajaiban, kau tetap harus bertahan, dengan atau tanpa keajaiban.”
“Aku tidak punya alasan untuk bertahan.” Jawabku sarkatis.
“Kau punya.” Sahut malaikatku. Aku menoleh, menatap ke dalam bola mata coklatnya. “Orang tuamu, saudaramu, teman-temanmu, dan semua orang yang menyayangimu. Mereka adalah alasanmu untuk tetap bertahan..”
“Aku tidak mau bertahan jika alasannya adalah mereka.” Aku tersenyum miris, sementara malaikatku menghela nafas. “Jika aku bertahan, bukankah aku hanya akan membuat mereka semakin menderita? Jika aku tetap hidup, bukankah aku hanya akan menambah beban mereka? Aku hanya akan membuat mereka lebih sering menangis karena memiliki seorang putri yang menderita tumor ganas di kepalanya. Dan aku benci melihat mereka menangis.”
Tanpa kusadari, malaikatku mengulurkan tangannya ke sudut mataku. Mengusap lembut bening kristal yang mengumpul di sana hingga pandanganku mulai mengabur.
“Jika kau tidak ingin bertahan demi mereka, maka bertahanlah karena aku.” Kutolehkan kepalaku menatap malaikatku yang masih setia mengusap lembut pipiku. “Bertahanlah demi aku yang akan melakukan operasimu. Bertahanlah demi aku yang akan tersenyum lega jika operasimu berhasil. Tetaplah hidup demi diriku yang tidak akan menangis jika operasimu berhasil. Kau harus tetap berjuang agar operasimu berhasil, karena setelah itu aku akan pergi dengan senyum bahagia. Bukankah kau tidak menyukaiku?”
“Aku menatap lekat malaikatku yang tersenyum lembut padaku. senyuman tulus tanpa belas kasihan yang terasa begitu hangat. Perlahan kupejamkan mataku saat tangan lembutnya mengelus kepala lalu turun ke pipiku. Sentuhannya sangat halus, sehalus dandelion yang sudah menemukan takdirnya masing-masing.
Sejak hari itu, aku begitu menyayangi malaikatku.
***
Ruangan ini terasa begitu menyilaukan ketika empat buah lampu telah dinyalakan di atas tubuhku. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian pandanganku mulai mengabur. Kemudian semuanya kembali menjadi gelap.
***
“Operasimu berhasil.”
Aku masih bisa melihat senyum hangat malaikatku, kini ia sedang duduk di sampingku. Menemaniku yang sedang menikmati angin sore di taman rumah sakit.
“Maaf.”
Hey. Kenapa kau menangis malaikatku? Aku tersentak saat melihat ada butiran air di sudut mata indahnya. Bukankah kau telah berjanji akan tersenyum jika operasiku berhasil?
Aku memberengut kesal. Memalingkan tubuh membelakangi malaikatku yang kini memelukku dari belakang. Ia mengusap dan mengecup lembut kepalaku.
“Seandainya aku lebih berhati-hati, mungkin hasilnya tidak akan seperti ini.”
Hey malaikatku! Apa sebenarnya yang kau bicarakaan? Bukankah operasiku berhasil?
“Tapi tidak apa-apa.” Malaikatku memalingkan tubuhku menghadapnya. “Kau pasti akan kembali seperti dulu. Kau hanya perlu melewati beberapa terapi dan perawatan. Setelah itu semuanya akan kembali normal.” Bibir malaikatku bergerak cepat, namun masih terkesan lembut. Aku yakin ia sedang bicara, aku bisa mendengarnya, meski tidak memahami apa yang sedang ia bicarakan.
“Tidak peduli berapa banyak syaraf yang sudah putus.” Malaikatku kembali menggerakkan bibirnya, sementara aku mencoba menghapus air mata yang semakin deras mengalir di pipnya. Meski tidak selembut malaikatku, tapi aku berusaha melakukan sebaik dirinya. “Meskipun kerusakan otakmu parah, kau pasti akan kembali seperti semula.”
Aku tersenyum saat malaikatku kembali menunjukkan senyum hangatnya. Dari balik jubah putihnya, ia mengeluarkan sesuatu yang ia sodorkan ke arahku. Setangkai dandelion putih.
Aku memperhatikan dandelion itu lekat. Perlahan mulutku bergerak, meniup pelan bunga dandelion yang kini berterbangan mengikuti angin.
Aku tertawa keras, takjub dengan apa yang kuperbuat. Dengan cepat aku berdiri, bertepuk tangan ria, sambil mengikuti bulu-bulu putih dandelion yang berterbangan. Aku meloncat-loncat kegirangan sambil berusaha meraih satu bulu dandelion. Tidak peduli jika dandelion-dandelion itu telah terbang jauh atau ada yang jatuh, dan terinjak olehku. Yang kuinginkan hanyalah mengambil satu dandelion. Karena kini aku menyukai dandelion. Dandelion yang telah menentukan takdirnya masing-masing. Sama sepertiku, yang telah mendapatkan takdir dan keajaiban secara bersamaan.
THE END